Pada mata pelajaran sejarah kali ini kita akan membahas mengenai perlawanan rakyat aceh terhadap hegemoni Belanda, simak bagaimana perjuangan rakyat aceh dalam melawan penjajahan berikut ini, silakan disimak dengan seksama.
Belanda sangat khawatir dengan tindakan Aceh yang menjalin hubungan dengan bangsa lain. Oleh karena itu, Belanda sering memancing keributan dengan menggeledah dan menangkap pelaut Aceh yang baru kembali dari negara lain. Rakyat Aceh pun sering membalas dengan menyergap kapal-kapal Belanda. Puncaknya, Belanda memancing kemarahan Sultan Aceh dengan menaklukkan Kerajaan Siak. Padahal wilayah tersebut sesungguhnya masih termasuk kekuasaan Kesultanan Aceh sejak Sultan Iskandar Muda.
Negara yang menjalin hubungan dengan Aceh adalah Kesultanan Turki. Hubungan ini ternyata sangat mengkhawatirkan Belanda. Terlebih setelah Terusan Suez dibuka untuk umum. Ini menyebabkan kedudukan Aceh makin penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, Inggris dan Belanda sama-sama khawatir tentang masa depan Aceh.
Belanda mengirimkan pasukannya ke Aceh Pada tahun 1873 dan menuntut agar Aceh tunduk kepadanya. Tuntutan itu ditolak oleh Sultan Mahmud Syah sehingga meletuslah perang antara Belanda dan Aceh. Dalam pertempuran tersebut Belanda mengalami kega-galan. Bahkan, pimpinan mereka Jenderal Kohler tewas tertembak di depan Mesjid Raya Aceh.
Pada bulan November 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Pada tanggal 9 Desember 1873, ekspedisi mendarat di Aceh dan langsung terlibat pertempuran sengit. Belanda terus bergerak menyerang istana Sultan Mahmud Syah dan berhasil menguasai Kutaraja. Setelah istana berhasil dikuasai Belanda, tidak lama kemudian Sultan Mahmud Syah wafat. Sementara itu, di seluruh Aceh dikobarkan Perang Jihad Fi Sabilillah (Perang Suci di jalan Allah). Ulama-ulama Aceh, seperti Tengku Cik Di Tiro dengan penuh semangat memimpin barisan menghadapi serbuan tentara Belanda.
![]() |
Perlawanan Rakyat Aceh |
Perlawanan Rakyat Aceh (1873-1904)
Keadaan Aceh makin terpuruk sepeninggal Sultan Iskandar Muda. Sultan Aceh hanya berkuasa di Kutaraja. Sultan hanya berfungsi sebagai lambang pemersatu rakyat Aceh. Namun demikian, sultan masih mempunyai wewenang menjalin hubungan dengan bangsa asing lainnya. Belanda dan Inggris yang telah lama ingin menguasai Aceh mengakui kekuasaan politik tersebut sesuai Treaty of London (1824).Belanda sangat khawatir dengan tindakan Aceh yang menjalin hubungan dengan bangsa lain. Oleh karena itu, Belanda sering memancing keributan dengan menggeledah dan menangkap pelaut Aceh yang baru kembali dari negara lain. Rakyat Aceh pun sering membalas dengan menyergap kapal-kapal Belanda. Puncaknya, Belanda memancing kemarahan Sultan Aceh dengan menaklukkan Kerajaan Siak. Padahal wilayah tersebut sesungguhnya masih termasuk kekuasaan Kesultanan Aceh sejak Sultan Iskandar Muda.
Negara yang menjalin hubungan dengan Aceh adalah Kesultanan Turki. Hubungan ini ternyata sangat mengkhawatirkan Belanda. Terlebih setelah Terusan Suez dibuka untuk umum. Ini menyebabkan kedudukan Aceh makin penting dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, Inggris dan Belanda sama-sama khawatir tentang masa depan Aceh.
Belanda mengirimkan pasukannya ke Aceh Pada tahun 1873 dan menuntut agar Aceh tunduk kepadanya. Tuntutan itu ditolak oleh Sultan Mahmud Syah sehingga meletuslah perang antara Belanda dan Aceh. Dalam pertempuran tersebut Belanda mengalami kega-galan. Bahkan, pimpinan mereka Jenderal Kohler tewas tertembak di depan Mesjid Raya Aceh.
Pada bulan November 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Pada tanggal 9 Desember 1873, ekspedisi mendarat di Aceh dan langsung terlibat pertempuran sengit. Belanda terus bergerak menyerang istana Sultan Mahmud Syah dan berhasil menguasai Kutaraja. Setelah istana berhasil dikuasai Belanda, tidak lama kemudian Sultan Mahmud Syah wafat. Sementara itu, di seluruh Aceh dikobarkan Perang Jihad Fi Sabilillah (Perang Suci di jalan Allah). Ulama-ulama Aceh, seperti Tengku Cik Di Tiro dengan penuh semangat memimpin barisan menghadapi serbuan tentara Belanda.
Rakyat di daerah Aceh Barat juga bangkit melawan Belanda yang dipimpin
oleh Teuku Umar bersama istrinya Cut Nyak Dien. Ia memimpin serangan
terhadap pos-pos Belanda dan menguasai daerah sekitar Meulaboh pada
tahun 1882. Pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar menyerang Kapal Hok
Canton yang berlabuh di Rigaih. Kapten Hansen berusaha menangkapnya
tetapi kapten itu tewas dalam pertempuran.
Perang Aceh telah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tetapi Belanda baru
dapat menguasai sekitar Kutaraja. Padahal biaya yang dikeluarkan
Belanda sudah cukup besar. Belanda menyadari bahwa menaklukkan Aceh
dengan kekerasan tidak akan berhasil. Oleh karena itu, Belanda mulai
berusaha dengan jalan lain. Untuk itu, dikirimlah Dr. Snouck Hurgronje
(seorang ahli ketimuran) untuk mengadakan penelitian sosial budaya
terhadap masyarakat Aceh. Ia masuk di Aceh dengan menyamar sebagai
seorang ulama bernama Abdul Gafar. Ia tinggal di tengah-tengah
masyarakat Aceh sambil mengamati kehidupannya.
Snouck Hurgronje menganjurkan agar pemerintah Belanda bersikap keras
terhadap para ulama dan bersikap lunak terhadap para bangsawan. Anjuran
Snouck Hurgronje tidak dilaksanakan. Jenderal Deyckerhoff mencoba siasat
lain, yaitu politik adu domba. Dipikatnya Teuku Umar agar bekerja sama
dengan Belanda. Teuku Umar berpura-pura menyam-but baik ajakan itu
karena pasukannya butuh senjata. Teuku Umar berharap dengan bekerja sama
dengan Belanda, dirinya dapat melengkapi pasukannya dengan senjata yang
modern sehingga dapat memenangkan pertempuran.
Pada tahun 1893, Teuku Umar pura-pura menyerah. Teuku Umar diberi
pasukan yang kuat dengan persenjataan lengkap agar menyerang
benteng-benteng rakyat Aceh. Dengan pasukannya itu, Teuku Umar berhasil
menundukkan beberapa hulubalang di Aceh Besar. Kepercayaan pemerintah
Belanda kepada Teuku Umar makin besar. Atas jasanya, ia diberi gelar
Panglima Perang Besar Johan Pahlawan. Pada tahun 1896, Teuku Umar
beserta pasukannya balik memusuhi Belanda. Mereka membawa persenjataan
lengkap, bergabung dengan rakyat Aceh. Pasukan Aceh terus-menerus
mendapat kemenangan. Belanda menyadari bahwa siasat devide et impera
tidak dapat meruntuhkan Aceh. Deyckerhoff dipecat dan diganti oleh van
Heutz.
Van Heutz memilih Snouck Hurgronje sebagai penasihatnya. Pada tahun
1898, van Heutz mengubah siasat perang. Pemusatan dalam benteng dihapus.
Ia membentuk pasukan Marsose (Korps Marechaussee), yaitu pasukan yang
berang-gotakan orang Indonesia dengan pemimpin seorang perwira Belanda
yang mahir berbahasa Aceh. Pasukan itu terdiri atas kesatuan-kesatuan
kecil gerak cepat dan dilatih cara gerilya. Dalam melakukan serangan,
tentara Belanda selalu diikuti oleh ribuan orang tawanan terantai yang
memikul senjata dan bekal perang. Pasukan Marsose menyerang setiap
daerah pertahanan lawan. Pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Umar tidak
mampu menahan serangan, kemudian mundur ke Meulaboh. Dalam pertempuran
melawan Belanda, Teuku Umar gugur pada tanggal 11 Februari 1899.
Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah masih
melakukan pertempuran di Aceh Timur secara berpindah-pindah mulai dari
Kutasawang, Peusangan, Geudong, dan Keureutue. Belanda masih belum
berhasil mengalahkannya. Oleh karena itu, ketika pasukan Aceh bertahan
di Benteng Batee Llie, van Heutz mengadakan serangan besar-besaran
(Januari 1901). Pasukan Sultan dan Panglima Polim terdesak mundur dan
benteng dapat diduduki Belanda.
Sekitar tahun 1903, pasukan Belanda berhasil menawan kerabat kesultanan
sehingga pada tahun itu juga Sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada
Belanda. Beberapa bulan kemudian Panglima Polim juga menyerah. Sementara
itu, Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia masih terus mengadakan
perlawanan. Akhirnya, Cut Nyak Dien tertangkap dan dibuang ke Sumedang
sampai wafat pada tanggal 6 November 1908. Cut Nyak Meutia gugur dalam
pertempuran di hutan Pasai pada tanggal 24 Oktober 1913.
Pada abad ke-19 masih banyak terjadi perang melawan Belanda di Sumatera.
Perlawanan rakyat di wilayah Batak dipimpin oleh Si Singamangaraja XII.
Perlawanan juga terjadi di Jambi, Palembang, dan Lampung.
Baca juga:
Demikianlah pelajaran sejarah tentang Perlawanan Rakyat Aceh, semoga dengan artikel sederhana diatas anda bisa mengambil kesimpulan dan pelajaran yang bemanfaat bagi anda.